Pagi masih petang, di luar sana suasana
cukup bersahabat untuk menikmati pemandangan di luar rumah. Sepertinya
bersepeda menjadi pilihan yang tak kalah menarik untuk dilakukan.
Akhirnya kami memutuskan untuk mecoba jalur Imogiri – Mangunan – Dlingo
dengan bersepeda. Dengan mengendarai sepeda, siap menaklukan tanjakan
tinggi dan berkelok di sepanjang Kecamatan Imogiri hingga Kecamatan
Dlingo, Bantul, Yogyakarta. Rute bersepeda kali ini mengambil jalur
Makam Imogiri – Mangunan – Dlingo – Patuk – Piyungan – Prambanan
dengan start dari Pakem dengan jarak kurang lebih 75 km.
Kecamatan Imogiri yang juga berbatasan dengan Kecamatan Dlingo merupakan
dua kecamatan yang memiliki dampak parah saat terjadi gempa 27 Mei
2006 lalu. Topografi kedua kecamatan ini didominasi oleh perbukitan
kapur, namun masih hijau. Kegiatan sehari-hari penduduknya sebagian
besar adalah petani. Selain itu, karena bentangan wilayahnya yang unik,
cocok untuk kegiatan out bound, track trail. Bahkan di Mangunan, Dlingo terdapat track trail bagi para pecinta sepeda gunung.
Dengan kecepatan di bawah rata-rata alias
cukup 25 km/jam saja, tak terasa kaki ini telah mengayuh sepeda hingga
Imogiri. Suasana udara pagi yang segar ditemani segelas wedhang uwuh,
yang merupakan minuman khas Imogiri yang dipilih dan diramu dari bahan
bermanfaat untuk kesehatan dan cocok sebagai penghangat serta pecel dan
tahu bacem menemani kita sarapan pagi di pelataran parkir Makam
Imogiri, untuk menghimpun energi sebelum bertarung menaklukan tanjakan
Mangunan – Dlingo. Di Makan Imogiri yang merupakan kompleks makam para
raja dan keluarganya dari Kerajaan Mataram yang didirikan pleh Sultan
Agung tahun 1632 – 1640 M yang terkenal dengan tangga berundak sebanyak
345 tangga. Di kompleks makam Imogiri ini kita jangan terlalu lama untuk
bersantai ria, daripada energi yang kita butuhkan 2 kali lipat, selain
dibutuhkan untuk mengayuh bisa saja habis terbakar karena panas sinar
matahari cukup banyak menyengat kulit. Jalur pertama langsung diawali
dengan tanjakan pendek namun panjang, yang nantinya tanjakan kedua,
ketiga hingga seterusnya akan lebih tinggi dan panjang. Tapi semua itu
terbayar dengan suguhan pemandangan yang apik di sisi kanan atau kiri
jalan, selain hamparan bukit-bukit nan hijau kita juga dapat melihat
makam raja Imogiri dari atas.
Ketika memasuki wilayah Kecamatan Dlingo,
ada 2 jalur yaitu menuju Kebun Buah Mangunan atau Hutan Pinus. Kalau
ini tergantung tujuan bersepeda, jika pada musim durian sempatkan untuk
mampir kebun buah, bisa saja kita beruntung menikmati durian montok dari
Mangunan yang sangat terkenal. Kebun buah yang dibangun oleh Pemkab
Bantul pada tahun 2003 ini memiliki luas 23, 3412 ha banyak ditemukan
pohon durian, mangga, rambutan, jeruk, sawo, dll. Namun, melalui jalur
hutan pinus juga tak kalah kerennya. Melintasi di sepanjang hutan ini,
sangat terasa kesejukan udara yang ditawarkan. Karena udaranya tergolong
bersih dari polusi, sempatkan untuk menghirup oksigen sedalam mungkin
sebelum bertemu kembali dengan hiruk pikuk kota. Hutan yang masih alami
ini, sering digunakan para fotografer baik yang masih amatiran hingga
profesional yang memanfaatkan lansekap hutan untuk pengambilan foto bagi
model atau foto pre-wedding. Tertarik?
Perjalanan ini barulah setengahnya,
karena setelah melewati hutan pinus kita akan berwisata desa sejenak.
Dengan keramahan penduduk sekitar Dlingo, perjalanan dengan bersepeda
semakin mantap saja! Rute yang dilewati juga cukup membahagiakan alias
banyak bonus jalan datar atau menurun, saatnya para bikers
untuk adu kecepatan. Lalu, kembali kita menemui beberapa tanjakan yang
tidak seganas tanjakan Mangunan. Jika cuaca sedang cerah sedikit redup
(tidak terlalu terik), maka kita bisa bersantai sejenak di bukit Dlingo
yang tak kalah cantiknya dengan bukit Patuk. Disini kita bisa menikmati
lembah hijau yang terbentang di sebelah barat bukit dan batu-batu besar
bediameter 2- 3 meter yang tersebar mempercantik gaya kita saat berfoto.
Jika sudah melewati jalur ini, perjalanan selanjutnya dapat dikatakan so easy, karena
jalanan datar dan menurun hingga bertemu jalan besar Jogja – Wonosari
(tepat di depan tulisan Radio GCD FM), selanjutnya kita gowes
sampai perempatan pasar Piyungan. Sempatkan pula untuk sekedar bersandar
di salah satu warung yang tersebar di sepanjang sisi kanan jalan (dari
arah Jogja) Bukit Patuk. Sambil menikmati ayam bakar/goreng ataupun
sekedar indomie pate (pate: pakai telur) rebus ditemani segelas teh,
kita dapat menikmati pemandangan yang juga tak kalah indahnya dari
pemandangan yang kita lihat sebelumnya.
Ternyata perjalanan dengan bersepeda kali
ini selain juga karena untuk menikmati alam, juga sekaligus bisa
menyalurkan hobi ber-fotografi sekaligus wisata kuliner. Bayangkan saja,
di sepanjang jalan wonosari – piyungan juga terdapat kuliner-kuliner
yang tak kalah sedap di lidah, sebut saja sate kambing perempatan
piyungan, bakso, soto pak Min depan Candi Prambanan hingga es dawet
depan Dinas Purbakala DIY.
Perjalanan kali ini kita hentikan sampai
di Candi Prambanan, karena hari semakin siang bahkan sengatan matahari
meresap masuk hingga ke kulit lapisan endodermis. Sehingga kita putuskan
untuk menyewa mobil pick-up guna mengangkut sepeda kembali ke rumah
(jarak yang harus ditempuh masih 20 km lagi!).